Dua mahkota bunga terlihat anggun dengan akar yang mencengkeram kuat pada sebuah batang pohon. Karena dalam simbiosis tak ada pihak yang rugi maupun dirugikan, mereka hidup berdampingan saling berbagi waktu dan tempat. Mereka tampak rukun sekali menjalani hari demi hari. Pemandangan itu nampaknya membuat iri banyak tumbuhan lain yang tidak bisa melakukan hubungan erat seperti bunga anggek dan pohon mangga itu.
Namun kedekatan mereka harus terhenti. Pemilik kebun menebang semua pepohonan karna lahan akan dijadikan tempat tinggal. Mau tidak mau pohon mangga harus pergi, meninggalkan bunga anggrek yang selama ini menemani. Dia memindahkan bunga anggrek pada sebuah pot, namun hidupnya kini tak sekuat saat bersama pohon mangga. mencoba bertahan dalam suasana baru, namun batang bunga terlihat semakin layu. hingga akhirnya si bunga pergi meninggalkan dahannya yang kering.
Seperti itulah gambaran ketiga sahabat yang dulunya tak terpisah, namun sekarang terpecah. Salah seorang pergi entah apa alasannya. Kehidupan yang baru telah merenggut kebersamaan yan selama ini terjalin. Kini hanya tersisa kenangan setelah semua memilih jalannya masing-masing .
Chika adalah seorang gadis yang cantik, supel dalam berteman. Dia juga pintar, ramah, dan segalanya berkecukupan. Jadi tak heran banyak orang mengaguminya. Sedangkan aku dan Dhea adalah orang yang beruntung mendapatkan teman sebaik Chika. Kami menjalin pertemanan mulai dari kelas satu SMA.
Saat bertukar cerita, seantero jagad raya seakan milik kita bertiga. Saling mengulurkan tangan ketika salah seorang sedang terjatuh. Dan saling mengangkat tangan saat merayakan kesenangan. Tak jarang kami menetertawakan sesuatu, bahkan mungkin hanya kami yang tau dan menganggap itu lucu.
‘’Teett.. teeettt’’ bel sekolah berbunyi. Jam istirahat adalah waktu yang paling kita tunggu. Dimana perut sudah keroncongan, dan siap-siap memakan bekal dari rumah. Sambil menyantap makanan, kita saling tukar informasi dan bercerita segala rupa. Entah seputar pelajaran, teman sekelas ataupun tentang rival, semua berakhir dengan tawa.
Lalu ketika sekolah pulang awal, kita selalu menyempatkan diri untuk makan diluar. Selain itu kita juga pergi ke toko baju, belanja makanan, kadang ke salon juga untuk menghabiskan waktu. Obrolan hangat selalu menemani kemananpun kita pergi. Karena itu kita mencetuskan sebuah nama untuk kita sendiri yaitu Crigis. Yang artinya cerewet dan suka berbuat ulah.
Kalo pulang kita masih barengan, kebetulan Chika dijemput sama ibunya. Orangtua Chika itu baiknya minta ampun, kalo aku sama Dhea pulang kemaleman aja rela mengntarkan sampai rumah. Padahal rumah kami juga tidak dekat. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan mereka.
Ketika ada tanggal merah atau libur sekolah, aku Dhea dan Chika sudah ribut membicarakan planning yang akan kita datangi. Mumpung libur, biasanya kita keluar kota. Sekedar untuk menonton film di bioskop atau ke pantai bersama teman-teman lainnya.
Satu kebiasaan kami saat liburan yaitu itu naik becak. Jadi satu becak yang harusnya muat dua orang itu kita naiki bertiga. Salah seorang harus berada di tengah yang tempat duduknya lebih menjorok kedepan. Karna yang didepan itu akan merasa malu, maka yang berada di tengah kita atur bergiliran. Malu tapi seru sekali.. Mengingat sekarang ini jamannya sudah naik taksi, atau sepeda motor. Tapi ada kebahagiaan tersendiri saat naik becak. Kalau tidak melakukan hal konyol bukan crigis namanya.
Ketika naik kelas dua, kita masih satu jurusan. Tapi kelas kita terpisah semua, ini gara-gara kebijakan sekolah yang lucu. Jika ada segerombol sahabat harus dipisahkan agar bisa fokus dalam pembelajaran. Kami sempat protes namun usaha itu tak ada hasil. Tak apalah, kita masih bisa bertemu karna kelas kita berjejeran.
Tiap istirahat juga masih makan bekal bareng, kalo pulang aku sama Dhea juga masih nebeng Chika. Hampir sejauh ini belum ada masalah karna berbeda kelas. Malah banyak yang iri dengan pertemanan kita. Kita juga mulai akrab dengan Citra, kirana dan Karin, mereka teman satu kelas Chika.
Di kelas dua ini, sekolah akan menadakan study tour ke pulau dewata Bali. Tentu kita sudah menyiapkan segala perlengkapan dari jauh hari. Mulai dari baju, celana, makanan, koper dan sebagainya. Kita sudah tidak sabar untuk segera melakukan perjalanan. Setelah satu bulan berlalu, akhirnya tiba pada hari keberangkatan. Seharusnya kita sudah muali packing dari pagi, tapi tak sedikitpun ada semangat setelah mendapat kabar dari Chika.
‘’besuk berangkat ke Bali, tapi aku malah sakit gini’’ aku terkejut membaca pesan singkat dari Chika.
‘’yaah gimana dong, masa nggak jadi iku?’’ aku mulai sedih memikirkannya.
‘’doain aja aku baikan ya, nanti jam 8 malam aku kasih keputusan besok jadi ikut apa enggak’’.
‘’iya, aku doakan yang terbaik’’. Aku benar-benar bingung sekarang. Sakit radang usus tidak akan sembuh dalam sehari. Jika memaksakan Chika untuk ikut, sama saja kita membunuhnya. Tapi kalo nggak ikut, liburan kita akan sia-sia.
Aku tak berhenti melihat layar hp, jam digitalnya sudah menunjukkan pukul 8 malam.
‘’maaf aku nggak jadi ikut kalian, sakit ku belum membaik’’ aku tau dia menulis pesan ini bersama air matanya.
‘’kamu cepet sembuh ya..terus nyusul kita pake pesawat, terus kita seneng-seneng disana.’’ Aku mencoba menenagkan diri, karna hatiku mulai memberontak tak terima akan takdir ini.
Kenapa harus sakit sekarang? Kenapa nggak satu minggu setelah ini saja? Kita nggak akan bisa bersenang-senang tanpa Chika. Padahal liburan bersama seperti ini mungkin hanya sekali seumur hidup. Rasanya ingin sekali membatalkan keberangkatan, atau menundanya sampai Chika sembuh. Namun semua harapanku sia-sia, rombongan tetap akan berangkat esok hari. Inilah kenyataannya, diamana Tuhan sedang tak mengijinkan kita bahagia.
Pukul 07.00 rombongan bus dari SMA sudah mulai berjalan. Aku, Dhea, Citra akan segera meninggalkan Salatiga, dan juga Chika. Sedih sekali menyisakan satu bangku yang seharusnya ditempati oleh sahabat kita. Ini lebih sakit dari berpisah dengan kekasih, maka aku tak dapat menghentikan tangisku. Bukan hanya aku, semua membutuhkan Chika disini.
Rasa capek setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh, terbayar oleh indahnya sun rise di Tanah Lot. Namun tak seindah jika Chika ada disini, kita tak harus menkhawatirkan keaadannya setiap waktu. Untuk membunuh rindu padanya, kita mencoba menelepon. Meskipun tangis meledak setelah mendengar suaranya, setidaknya kami sudah merasa lega.
‘’nikmati saja nok, kita masih bisa bahagia dengan teman yang lain’’. Dhea berusaha menguatkan ketika aku masih saja bersedih. Meski bahagiaku tak sempurna, aku bisa melewati sampai hari terakhir. Saatnya kembali ke kota Salatiga diiringi hati yang mulai ceria.
Kita segera melepas rindu dan memberikan buah tangan untuk Chika. Mengingat perjuanganku dengan Citra untuk mendapatkan buah tangan itu, rela berebut nafas dengan ribuan orang sampai mau pingsan. Semoga Chika senang menenerimanya.
Beberapa bulan setelah itu, kami masih baik-baik saja. Kita semakin dekat juga dengan Karin, Citra dan Kirana karena sering main ke kelas Chika. Banyak teman dekat seperti ini kan lebih baik pikirku.
Tapi ternyata diagnosaku salah, dunia mulai terasa berbeda sekarang. Aku mulai merasa kehilangan topik bicara saat bersama mereka. Aku ikut tertawa, tapi aku tak mengerti apa yang ditertawakan. Aku seperti orang gila disini, mulai dianggap sebelah mata. Seperti orang asing yang baru mengenal mereka.
Aku bilang pada Dhea ‘’aku rasa kok Chika sekarang berubah ya, semakin dekat dengan mereka’’. Ternyata bukan aku saja yang merasakan, Dhea juga merasa tak dianggap lagi. ‘’aku juga merasa kesepian saat berbicara dengan mereka put.’’ Antara kecewa dan sedih, aku dan Dhea mencoba bertahan dalam situasi ini.
Rasanya sakit sekali saat kehadiran kami tak lagi diharapkan. Mungkin benar, aku dan Dhea tidaklah menguntungkan bagi Chika, bahkan lebih pantas dibilang parasit baginya. Sehingga kami tak mampu lagi bertahan, dan kami meninggalkan mereka perlahan. Kini aku percaya perkataan orang Jawa, jika bersahabat dengan tiga orang itu suatu saat pasti terpecah. Ya seperti yang kita alami sekarang ini.
Meskipun Tuhan menyukai angka ganjil, namun kurasa tidak pada persahabatan beranggotakan tiga. Yang lama akan tergantikan dengan yang baru, bukankah begitu teorinya?
Sahabat adalah mereka yang tak meninggalkan kita meski kehidupan baru mendatanginya. Mereka akan selalu menjaga sehingga tak ada pihak yang merasa tersakiti. Mungkin teman-temanku merasa kita yang menghindar, padahal mereka yang meninggalkan.
Chika.. kamu tetap teman kami yang terbaik, mungkin kamu sedang khilaf sekarang. Tapi tenang, aku dan Dhea tetap menunggu disisni. Sampai kita akan menjadi crigis-crigis yang seperti dulu lagi..
Namun kedekatan mereka harus terhenti. Pemilik kebun menebang semua pepohonan karna lahan akan dijadikan tempat tinggal. Mau tidak mau pohon mangga harus pergi, meninggalkan bunga anggrek yang selama ini menemani. Dia memindahkan bunga anggrek pada sebuah pot, namun hidupnya kini tak sekuat saat bersama pohon mangga. mencoba bertahan dalam suasana baru, namun batang bunga terlihat semakin layu. hingga akhirnya si bunga pergi meninggalkan dahannya yang kering.
Seperti itulah gambaran ketiga sahabat yang dulunya tak terpisah, namun sekarang terpecah. Salah seorang pergi entah apa alasannya. Kehidupan yang baru telah merenggut kebersamaan yan selama ini terjalin. Kini hanya tersisa kenangan setelah semua memilih jalannya masing-masing .
Chika adalah seorang gadis yang cantik, supel dalam berteman. Dia juga pintar, ramah, dan segalanya berkecukupan. Jadi tak heran banyak orang mengaguminya. Sedangkan aku dan Dhea adalah orang yang beruntung mendapatkan teman sebaik Chika. Kami menjalin pertemanan mulai dari kelas satu SMA.
Saat bertukar cerita, seantero jagad raya seakan milik kita bertiga. Saling mengulurkan tangan ketika salah seorang sedang terjatuh. Dan saling mengangkat tangan saat merayakan kesenangan. Tak jarang kami menetertawakan sesuatu, bahkan mungkin hanya kami yang tau dan menganggap itu lucu.
‘’Teett.. teeettt’’ bel sekolah berbunyi. Jam istirahat adalah waktu yang paling kita tunggu. Dimana perut sudah keroncongan, dan siap-siap memakan bekal dari rumah. Sambil menyantap makanan, kita saling tukar informasi dan bercerita segala rupa. Entah seputar pelajaran, teman sekelas ataupun tentang rival, semua berakhir dengan tawa.
Lalu ketika sekolah pulang awal, kita selalu menyempatkan diri untuk makan diluar. Selain itu kita juga pergi ke toko baju, belanja makanan, kadang ke salon juga untuk menghabiskan waktu. Obrolan hangat selalu menemani kemananpun kita pergi. Karena itu kita mencetuskan sebuah nama untuk kita sendiri yaitu Crigis. Yang artinya cerewet dan suka berbuat ulah.
Kalo pulang kita masih barengan, kebetulan Chika dijemput sama ibunya. Orangtua Chika itu baiknya minta ampun, kalo aku sama Dhea pulang kemaleman aja rela mengntarkan sampai rumah. Padahal rumah kami juga tidak dekat. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan mereka.
Ketika ada tanggal merah atau libur sekolah, aku Dhea dan Chika sudah ribut membicarakan planning yang akan kita datangi. Mumpung libur, biasanya kita keluar kota. Sekedar untuk menonton film di bioskop atau ke pantai bersama teman-teman lainnya.
Satu kebiasaan kami saat liburan yaitu itu naik becak. Jadi satu becak yang harusnya muat dua orang itu kita naiki bertiga. Salah seorang harus berada di tengah yang tempat duduknya lebih menjorok kedepan. Karna yang didepan itu akan merasa malu, maka yang berada di tengah kita atur bergiliran. Malu tapi seru sekali.. Mengingat sekarang ini jamannya sudah naik taksi, atau sepeda motor. Tapi ada kebahagiaan tersendiri saat naik becak. Kalau tidak melakukan hal konyol bukan crigis namanya.
Ketika naik kelas dua, kita masih satu jurusan. Tapi kelas kita terpisah semua, ini gara-gara kebijakan sekolah yang lucu. Jika ada segerombol sahabat harus dipisahkan agar bisa fokus dalam pembelajaran. Kami sempat protes namun usaha itu tak ada hasil. Tak apalah, kita masih bisa bertemu karna kelas kita berjejeran.
Tiap istirahat juga masih makan bekal bareng, kalo pulang aku sama Dhea juga masih nebeng Chika. Hampir sejauh ini belum ada masalah karna berbeda kelas. Malah banyak yang iri dengan pertemanan kita. Kita juga mulai akrab dengan Citra, kirana dan Karin, mereka teman satu kelas Chika.
Di kelas dua ini, sekolah akan menadakan study tour ke pulau dewata Bali. Tentu kita sudah menyiapkan segala perlengkapan dari jauh hari. Mulai dari baju, celana, makanan, koper dan sebagainya. Kita sudah tidak sabar untuk segera melakukan perjalanan. Setelah satu bulan berlalu, akhirnya tiba pada hari keberangkatan. Seharusnya kita sudah muali packing dari pagi, tapi tak sedikitpun ada semangat setelah mendapat kabar dari Chika.
‘’besuk berangkat ke Bali, tapi aku malah sakit gini’’ aku terkejut membaca pesan singkat dari Chika.
‘’yaah gimana dong, masa nggak jadi iku?’’ aku mulai sedih memikirkannya.
‘’doain aja aku baikan ya, nanti jam 8 malam aku kasih keputusan besok jadi ikut apa enggak’’.
‘’iya, aku doakan yang terbaik’’. Aku benar-benar bingung sekarang. Sakit radang usus tidak akan sembuh dalam sehari. Jika memaksakan Chika untuk ikut, sama saja kita membunuhnya. Tapi kalo nggak ikut, liburan kita akan sia-sia.
Aku tak berhenti melihat layar hp, jam digitalnya sudah menunjukkan pukul 8 malam.
‘’maaf aku nggak jadi ikut kalian, sakit ku belum membaik’’ aku tau dia menulis pesan ini bersama air matanya.
‘’kamu cepet sembuh ya..terus nyusul kita pake pesawat, terus kita seneng-seneng disana.’’ Aku mencoba menenagkan diri, karna hatiku mulai memberontak tak terima akan takdir ini.
Kenapa harus sakit sekarang? Kenapa nggak satu minggu setelah ini saja? Kita nggak akan bisa bersenang-senang tanpa Chika. Padahal liburan bersama seperti ini mungkin hanya sekali seumur hidup. Rasanya ingin sekali membatalkan keberangkatan, atau menundanya sampai Chika sembuh. Namun semua harapanku sia-sia, rombongan tetap akan berangkat esok hari. Inilah kenyataannya, diamana Tuhan sedang tak mengijinkan kita bahagia.
Pukul 07.00 rombongan bus dari SMA sudah mulai berjalan. Aku, Dhea, Citra akan segera meninggalkan Salatiga, dan juga Chika. Sedih sekali menyisakan satu bangku yang seharusnya ditempati oleh sahabat kita. Ini lebih sakit dari berpisah dengan kekasih, maka aku tak dapat menghentikan tangisku. Bukan hanya aku, semua membutuhkan Chika disini.
Rasa capek setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh, terbayar oleh indahnya sun rise di Tanah Lot. Namun tak seindah jika Chika ada disini, kita tak harus menkhawatirkan keaadannya setiap waktu. Untuk membunuh rindu padanya, kita mencoba menelepon. Meskipun tangis meledak setelah mendengar suaranya, setidaknya kami sudah merasa lega.
‘’nikmati saja nok, kita masih bisa bahagia dengan teman yang lain’’. Dhea berusaha menguatkan ketika aku masih saja bersedih. Meski bahagiaku tak sempurna, aku bisa melewati sampai hari terakhir. Saatnya kembali ke kota Salatiga diiringi hati yang mulai ceria.
Kita segera melepas rindu dan memberikan buah tangan untuk Chika. Mengingat perjuanganku dengan Citra untuk mendapatkan buah tangan itu, rela berebut nafas dengan ribuan orang sampai mau pingsan. Semoga Chika senang menenerimanya.
Beberapa bulan setelah itu, kami masih baik-baik saja. Kita semakin dekat juga dengan Karin, Citra dan Kirana karena sering main ke kelas Chika. Banyak teman dekat seperti ini kan lebih baik pikirku.
Tapi ternyata diagnosaku salah, dunia mulai terasa berbeda sekarang. Aku mulai merasa kehilangan topik bicara saat bersama mereka. Aku ikut tertawa, tapi aku tak mengerti apa yang ditertawakan. Aku seperti orang gila disini, mulai dianggap sebelah mata. Seperti orang asing yang baru mengenal mereka.
Aku bilang pada Dhea ‘’aku rasa kok Chika sekarang berubah ya, semakin dekat dengan mereka’’. Ternyata bukan aku saja yang merasakan, Dhea juga merasa tak dianggap lagi. ‘’aku juga merasa kesepian saat berbicara dengan mereka put.’’ Antara kecewa dan sedih, aku dan Dhea mencoba bertahan dalam situasi ini.
Rasanya sakit sekali saat kehadiran kami tak lagi diharapkan. Mungkin benar, aku dan Dhea tidaklah menguntungkan bagi Chika, bahkan lebih pantas dibilang parasit baginya. Sehingga kami tak mampu lagi bertahan, dan kami meninggalkan mereka perlahan. Kini aku percaya perkataan orang Jawa, jika bersahabat dengan tiga orang itu suatu saat pasti terpecah. Ya seperti yang kita alami sekarang ini.
Meskipun Tuhan menyukai angka ganjil, namun kurasa tidak pada persahabatan beranggotakan tiga. Yang lama akan tergantikan dengan yang baru, bukankah begitu teorinya?
Sahabat adalah mereka yang tak meninggalkan kita meski kehidupan baru mendatanginya. Mereka akan selalu menjaga sehingga tak ada pihak yang merasa tersakiti. Mungkin teman-temanku merasa kita yang menghindar, padahal mereka yang meninggalkan.
Chika.. kamu tetap teman kami yang terbaik, mungkin kamu sedang khilaf sekarang. Tapi tenang, aku dan Dhea tetap menunggu disisni. Sampai kita akan menjadi crigis-crigis yang seperti dulu lagi..
0 komentar:
Posting Komentar