Senin, 17 Juni 2013

Sebuah Kesalahan Rasa.

Kebanyakan orang yang bergulat pada asmara, mengatakan bahwa cinta datang tanpa alasan. Tapi pada umumnya cinta datang karna sudah terbiasa. Dengan kebiasaan sering bersama, akhirnya lahirlah cinta, lahirlah sebuah ikatan dan janji saling setia. Seperti kisah temanku ini, Tisa dan Vino. Mereka teman satu kelas aku, Tisa sering menceritakan perjalanannnya dengan Vino. ‘’awalnya aku nggak ada rasa cinta sama Vino, setelah terbiasa bersama ya tumbuhlah cinta sampai sekarang ini.’’ Ingin rasanya mempunyai pasangan yang bisa saling menjaga seperti mereka.
Nggak heran kalo mereka berdua bisa pacaran langgeng sampe setahun lebih. Banyak kecocokan dan keserasian dari mereka. Mulai dari percakapannya, tingkah laku mereka, hingga pengorbanan yang mereka lakukan. Mungkin bukan hanya aku yang merasa iri jika melihatnya. Bukan iri karna sirik, tapi rasanya pengen bisa pacaran kaya mereka.
Sayangnya aku selalu gagal dalam menjaga cinta. Entah siapa yang meninggalkan, aku selalu tumbang dalam perjalanan. Tapi sekarang aku bersyukur, dipertemukan dengan seseorang yang menurutku hampir sempurna. Aku berharap kisahku tak seperti yang sebelum-sebelumnya. Dan benar saja, aku senang mengisi harinya pun juga dengannya. Aku bahagia bisa saling berjuang untuk menjaga komitmen kita.
Namun Tuhan tak menyetujui kebahagiaan kita, maka Ia menghadiahi  perpisahan.
Setelah itu aku kembali merawat luka, seperti biasanya. Tapi kali ini aku bakal susah lupa kalo tiap hari saja bertatap muka. Bagaimana tidak, kelas kita hanya barbatasan dengan diding. Beruntung punya teman-teman yang selalu memberi semangat, termasuk Tisa.
‘’aku kandas lagi Sa, tapi kali ini aku bener-bener ngerasa kehilangan.’’
‘’tenanglah, Bagas bakal nyesel udah bikin keputusan kaya gini. Jodoh nggak kemana nok.’’ Mungkin ada benarnya perkataan Tisa, aku harus tenang.

Kenapa harus berpisah sekarang, padahal masih banyak sekali planning yang belum terlaksana. Termasuk keinginan Bagas yg memintaku untuk menemani mendaki. Aku mulai tertarik dengan cerita saat dia berpetualang dengan alam. Aku memutuskan ikut, tapi nanti saat liburan sekolah. Biar aku persiapkan diri dulu.
Tapi semuanya sia-sia, saat hari itu tiba aku menggagalkan rencana awal. Aku tak mungkin melakukan perjalanan dengan orang yang bagiku sudah asing. Tapi teman-teman yang lain tetap berjuang. Bagas, Resa, Farhan akan merayakan anniversary Tisa dan Vino yang kedua di puncak Gunung Merbabu sana.
Sedangkan mereka berangkat, aku hanya menghujat diriku sendiri. Seharusnya aku disana, bersama mereka. Tapi ini kenyataan yang harus aku terima, Tuhan masih tak mengijinkan aku bahagia. Setidaknya dengan melihat landscape yang didapat dari atas sana sudah cukup menghibur. Apalagi melihat foto Tisa dan Vino, sampai kapanpun mereka tetap pasangan yang romantis…
Pasca sweet seventeen-nya Tisa semua berfikir, mau dikasih kado apa dia. Terutama Vino yang harus ngasih paling istimewa. Ternyata ia ngasih mukena sama boneka gede banget. Dia juga rela nggak tidur buat nyiapin surprice subuh-subuh kerumah Tisa. More than sweet..
Tak lama setelah kejutan istimewa itu, tiba-tiba badai datang menerpa. Pertengkaran dalam hubungan yang dibenci setiap orang kini dihadapi Tisa. Tak ada angin sebulum datangnya badai, semua terjadi tanpa sebab apapun. Vino mulai berubah, mungkin karena sedang bosan. Hal yang wajar pada sebuah hubungan.
Hari ini aku ditugaskan guru untuk mencari tugas di perpusatakaan. Saat aku tengah membicarakan Bagas dengan Gita teman sebangku ku, tiba-tiba Vino ikut bicara dengan nada lebih lembut dari biasanya. Dia mengejekku karna belum bisa move on, aku jawab saja sudah.
‘’emang sama siapa?’’  Tanya Vino begitu penasaran.
‘’move on nggak harus sama orang kali, selama kita udah mampu tanpa dia dan mampu melupakan itu namanya juga move on.’’  Aku menjawab dengan nada sedikit kesal.
‘’oh gitu, terus kenapa kalo udah bisa ngelupain nggak cari yang lain?’’
‘’capek. Kalo akhirnya cuma mau putus  aja ngapain juga pacaran.’’ Kepo banget nih orang.
‘’bener juga ya, kalo besok akhirnya dapet jodoh ngapain cari pacar.’’
‘’jangan gitu, kamu punya pacar yang harus dijagain Vin.’’
‘’bakal aku jaga sebisaku, kalo udah nggak bisa kan semua bakal indah pada waktunya..”
Aku nggak ngerti  tiba-tiba Vino ikut bicara seperti gitu, tatapan matanya juga berbeda. Ah paling cuma iseng dia, sampe situ saja aku berfikir.
Didalam pertengkaran mereka, aku mencoba jadi penengah. Mengembalikan keadaan seperti semula. Aku berusaha menguatkan Tisa setiap harinya. Tapi sudah lebih dari seminggu mereka saling tak memberi kabar. Ini sudah tidak bisa dianggap wajar.
‘’aku harus gimana nok, aku nggak rela kalo perjuanganku selama dua tahun berakhir kaya gini.’’ Tisa bicara dengan wajah memelas, matanya sudah berkaca-kaca siap menumpahkan airnya.
‘’semua belum terlambat untuk diperbaiki, lebih sabar Sa. Mungkin Vino butuh waktu buat kembalikan rasa.’’ Aku berusaha menenangkan hatinya.
Hingga tiba pada hari yang tak pernah diinginkan, dimana Vino menginginkan berpisah. Keputusan itu membuat hati Tisa lebih hancur dari rumah korban tsunami sekalipun. Aku bisa merasakan itu.
Sebuah perpisahan tak akan serumit ini bila perjalanan yang ditempuh belum terlalu jauh.
Mereka pasangan paling cocok, mereka pasangan terbaik. Lelaki memang begitu ya, setelah merasa bosan suka seenaknya saja bertindak.  Tapi kenapa perpisahan selalu menghancurkan semua mimpi? Tak pernah kutemukan jawaban. yang lama pacaran saja bisa putus, apalagi yang baru beberapa bulan. Aku hanya bisa menarik nafas dan kembali menghembuskan.
Setelah kesendirian menemani  Tisa, dia mencoba bangkit dan membesarkan hatinya. Bukankah setiap masalah pasti ada hikmahnya? Aku pun mempercayai itu.Tapi sebagai perempuan, tak bisa lepas dari sifat kepo-nya. Kita masih  mencari apa yang menyebabkan Vino berubah.
Aku mencoba membantu Tisa dengan mengintrogasi salah satu teman dekat Vino.
Aku mengatur strategi dan bertanya segala rupa sampai menemukan penyebabnya. Cukup sulit saat melakukan aksi tersebut, aku langsung menghubungi Tisa.
‘’aku nggak tau urusannya Vino apalagi tau dia deket sama orang lain. Dia bilangnya gitu Sa.’’
‘’tukan nggak mau ngaku, aku pasrah deh.. tapi aku mau tanya apa kemarin Vino sms kamu?’’
‘’iya tapi cuma minta nomer aja, terus aku ejekin kalo dia galau waktu muncak kemarin.’’
‘’berarti kalian smsan banyak dong?’’
‘’cuma dikit kok, santai nok aku nggak bakal ngapa-ngapa.’’
‘’iya sory sempet curiga, kan bisa aja Vino suka sama kamu…”
‘’kamu tu ngomong apa sih, ngawur aja..” duh ngajak bercanda nih anak.
‘’ini beneran Vino suka kamu tapi kamu nggak suka, udah aku nggak papa kok..’’
Apa maksutnya dia bilang kaya gini? Kalo bercanda nggak mungkin seserius ini. Ah mungkin itu anggapan Tisa saja.
‘’aku nggak mudeng sama yang kamu omongin sumpah.’’
‘’udah intinya Vino punya rasa sama kamu, kalo dia ndeketin tolong hargai ya…”
JEGERR!!!
Masih dengan mulut menganga, aku tak mampu berkata. Apa yang dibicarakan Tisa sama sekali tak pernah terfikir olehku. Jelas-jelas itu hal yang nggak mungkin terjadi. Pasti dia salah informasi, tapi…. Aku teringat satu hal. Apakah yang dibilang Tisa dengan sikap Vino yang aneh bebrapa waktu lalu itu berhubungan? Aku harap tidak.
Keesokan harinya aku tetap berangkat sekolah. Tapi lain dari biasanya, kali ini aku merasa bersalah pada Tisa yang kulihat matanya sembab sekali. Pasti dia tak bisa menahan air matanya keluar semalaman. Aku tau dia sakit hati pada Vino, tapi kali ini ada kaitannya denganku. Siapapun wanita yang sudah menggantikan prioritas Tisa, aku akan ikut benci padanya. Tapi sekarang, apakah aku harus membenci diriku sendiri?
Rasanya  ingin sekali terjun dari awak kapal pesiar, lalu meluncur sampai dasar dan mendapati kepalaku terbentur karang sampai ingatanku hilang. Melupakan segala keadaan yang membuatku tak nyaman , tentu bukan hal mudah. Karna kini aku berada di tengah-tengah mereka yang bertikai.
Tak ada yang bisa dipersalahkan pada hal ini, semua terjadi diluar kehendak hati. Inilah perasaan, sering kali datang pada waktu dan tempat yang salah. Tempat yang seharusnya kita sebut persahabatan, berubah menjadi rasa yang lebih dalam. Kesalahan rasa tersebut akan datang sewaktu-waktu, namun kembali pada kita bagaimana harusnya menyikapi.. 
»»  READMORE...

Senin, 10 Juni 2013

Tiga Sahabat

Dua mahkota bunga terlihat anggun dengan akar yang mencengkeram kuat pada sebuah batang pohon. Karena dalam simbiosis tak ada pihak yang rugi maupun dirugikan, mereka hidup berdampingan saling berbagi waktu dan tempat. Mereka tampak rukun sekali menjalani hari demi hari. Pemandangan itu nampaknya membuat iri banyak tumbuhan lain yang tidak bisa melakukan hubungan erat seperti bunga anggek dan pohon mangga itu.
Namun kedekatan mereka harus terhenti. Pemilik kebun menebang semua pepohonan karna lahan akan dijadikan tempat tinggal. Mau tidak mau pohon mangga harus pergi, meninggalkan bunga anggrek yang selama ini menemani. Dia memindahkan bunga anggrek pada sebuah pot, namun hidupnya kini tak sekuat saat bersama pohon mangga. mencoba bertahan dalam suasana baru, namun batang bunga terlihat semakin layu. hingga akhirnya si bunga pergi meninggalkan dahannya yang kering.
Seperti itulah gambaran ketiga sahabat yang dulunya tak terpisah, namun sekarang terpecah. Salah seorang pergi entah apa alasannya. Kehidupan yang baru telah merenggut kebersamaan yan selama ini terjalin. Kini hanya tersisa kenangan setelah semua memilih jalannya masing-masing .
Chika adalah seorang  gadis yang cantik, supel dalam berteman. Dia juga pintar, ramah, dan segalanya berkecukupan. Jadi tak heran banyak orang mengaguminya. Sedangkan aku dan Dhea adalah orang yang beruntung mendapatkan teman sebaik Chika. Kami menjalin pertemanan mulai dari kelas satu SMA.
Saat bertukar cerita, seantero jagad raya seakan milik kita bertiga. Saling mengulurkan tangan ketika salah seorang sedang terjatuh. Dan saling mengangkat tangan saat merayakan kesenangan. Tak jarang kami menetertawakan sesuatu, bahkan mungkin hanya kami yang tau dan menganggap itu lucu.
‘’Teett.. teeettt’’ bel sekolah berbunyi. Jam istirahat adalah waktu yang paling kita tunggu. Dimana perut sudah keroncongan, dan siap-siap memakan bekal dari rumah. Sambil menyantap makanan, kita saling tukar informasi dan bercerita segala rupa. Entah seputar pelajaran, teman sekelas ataupun tentang rival, semua berakhir dengan tawa.
Lalu ketika sekolah pulang awal, kita selalu menyempatkan diri untuk makan diluar. Selain itu kita juga pergi ke toko baju, belanja makanan, kadang ke salon juga untuk menghabiskan waktu. Obrolan hangat selalu menemani kemananpun kita pergi. Karena itu kita mencetuskan sebuah nama untuk kita sendiri yaitu Crigis. Yang artinya cerewet dan suka berbuat ulah.
Kalo pulang kita masih barengan, kebetulan Chika dijemput sama ibunya. Orangtua Chika itu baiknya minta ampun, kalo aku sama Dhea pulang kemaleman aja rela mengntarkan sampai rumah. Padahal rumah kami juga tidak dekat. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan mereka.
Ketika ada tanggal merah atau libur sekolah, aku Dhea dan Chika sudah ribut membicarakan planning yang akan kita datangi. Mumpung libur, biasanya kita keluar kota. Sekedar untuk menonton film di bioskop atau ke pantai bersama teman-teman lainnya.
Satu kebiasaan kami saat liburan yaitu itu naik becak. Jadi satu becak yang harusnya muat dua orang itu kita naiki bertiga. Salah seorang harus berada di tengah yang tempat duduknya lebih menjorok kedepan.  Karna yang didepan itu akan merasa malu, maka yang berada di tengah kita atur bergiliran. Malu tapi seru sekali.. Mengingat sekarang ini jamannya sudah naik taksi, atau sepeda motor. Tapi ada kebahagiaan tersendiri saat naik becak. Kalau tidak melakukan hal konyol bukan crigis namanya.
Ketika naik kelas dua, kita masih satu jurusan. Tapi kelas kita terpisah semua, ini gara-gara kebijakan sekolah yang lucu. Jika ada segerombol sahabat harus dipisahkan agar bisa fokus dalam pembelajaran. Kami sempat protes  namun usaha itu tak ada hasil. Tak apalah, kita masih bisa bertemu karna kelas kita berjejeran.
Tiap istirahat juga masih makan bekal bareng, kalo pulang  aku sama Dhea juga masih nebeng Chika. Hampir sejauh ini belum ada masalah karna berbeda kelas. Malah banyak yang iri dengan pertemanan kita.  Kita juga mulai akrab dengan Citra, kirana dan Karin, mereka teman satu kelas Chika.
Di kelas dua ini, sekolah akan menadakan study tour ke pulau dewata Bali. Tentu kita sudah menyiapkan segala perlengkapan dari jauh hari. Mulai dari baju, celana, makanan, koper dan sebagainya. Kita sudah tidak sabar untuk segera melakukan perjalanan.  Setelah satu bulan berlalu, akhirnya tiba pada hari keberangkatan. Seharusnya kita sudah muali packing dari pagi, tapi tak sedikitpun ada semangat setelah mendapat kabar dari Chika.
‘’besuk berangkat ke Bali, tapi aku malah sakit gini’’ aku terkejut membaca pesan singkat dari Chika.
‘’yaah gimana dong, masa nggak jadi iku?’’ aku mulai sedih memikirkannya.
‘’doain aja aku baikan ya, nanti jam 8 malam aku kasih keputusan besok jadi ikut apa enggak’’.
‘’iya, aku doakan yang terbaik’’.  Aku benar-benar bingung sekarang. Sakit radang usus tidak akan sembuh dalam sehari. Jika memaksakan Chika untuk ikut, sama saja kita membunuhnya. Tapi kalo nggak ikut, liburan kita akan sia-sia.
Aku tak berhenti melihat layar hp, jam digitalnya sudah menunjukkan pukul 8 malam.
‘’maaf aku nggak jadi ikut kalian, sakit ku belum membaik’’ aku tau dia menulis pesan ini bersama air matanya.
‘’kamu cepet sembuh ya..terus nyusul kita pake pesawat, terus kita seneng-seneng disana.’’ Aku mencoba menenagkan diri, karna hatiku mulai memberontak tak terima akan takdir ini.
Kenapa harus sakit sekarang? Kenapa nggak satu minggu setelah ini saja? Kita nggak akan bisa bersenang-senang tanpa Chika. Padahal liburan bersama seperti ini mungkin hanya sekali seumur hidup. Rasanya ingin sekali membatalkan keberangkatan, atau menundanya sampai Chika sembuh. Namun semua harapanku sia-sia, rombongan tetap akan berangkat esok hari. Inilah kenyataannya, diamana Tuhan sedang tak mengijinkan kita bahagia.
Pukul 07.00 rombongan bus dari SMA sudah mulai berjalan. Aku, Dhea, Citra akan segera meninggalkan Salatiga, dan juga Chika. Sedih sekali menyisakan satu bangku yang seharusnya ditempati oleh sahabat kita. Ini lebih sakit dari berpisah dengan kekasih, maka aku tak dapat menghentikan tangisku. Bukan hanya aku, semua membutuhkan Chika disini.
Rasa capek setelah melakukan perjalanan yang sangat jauh, terbayar oleh  indahnya sun rise di Tanah Lot. Namun tak seindah jika Chika ada disini, kita tak harus menkhawatirkan keaadannya setiap waktu. Untuk membunuh rindu padanya, kita mencoba menelepon. Meskipun tangis meledak setelah mendengar suaranya, setidaknya kami sudah merasa lega.
‘’nikmati saja nok, kita masih bisa bahagia dengan teman yang lain’’. Dhea berusaha menguatkan ketika aku masih saja bersedih. Meski bahagiaku tak sempurna, aku bisa melewati sampai hari terakhir. Saatnya kembali ke kota Salatiga diiringi hati yang mulai ceria.
Kita segera melepas rindu dan memberikan buah tangan untuk Chika. Mengingat perjuanganku dengan Citra untuk mendapatkan buah tangan itu, rela berebut nafas dengan ribuan orang sampai mau pingsan. Semoga Chika senang menenerimanya.
Beberapa bulan setelah itu, kami masih baik-baik saja. Kita semakin dekat juga dengan Karin, Citra dan Kirana karena sering main ke kelas Chika. Banyak teman dekat seperti ini kan lebih baik pikirku.
Tapi ternyata diagnosaku salah, dunia mulai terasa berbeda sekarang. Aku mulai merasa kehilangan topik bicara saat bersama mereka. Aku ikut tertawa, tapi aku tak mengerti apa yang ditertawakan. Aku seperti orang gila disini, mulai dianggap sebelah mata. Seperti orang asing yang baru mengenal mereka.
Aku bilang pada Dhea ‘’aku rasa kok Chika sekarang berubah ya, semakin dekat dengan mereka’’. Ternyata bukan aku saja yang merasakan, Dhea juga merasa tak dianggap lagi. ‘’aku juga  merasa kesepian saat berbicara dengan mereka put.’’ Antara kecewa dan sedih, aku dan Dhea mencoba bertahan dalam situasi ini.
Rasanya sakit sekali saat kehadiran kami tak lagi diharapkan. Mungkin benar, aku dan Dhea tidaklah menguntungkan bagi Chika, bahkan lebih pantas dibilang parasit baginya. Sehingga kami tak mampu lagi bertahan, dan kami meninggalkan mereka perlahan. Kini aku percaya perkataan orang Jawa, jika bersahabat dengan tiga orang itu suatu saat pasti terpecah. Ya seperti yang kita alami sekarang ini.
Meskipun Tuhan menyukai angka ganjil, namun kurasa tidak pada persahabatan beranggotakan tiga. Yang lama akan tergantikan dengan yang baru, bukankah begitu teorinya?
Sahabat adalah mereka yang tak meninggalkan kita meski kehidupan baru mendatanginya. Mereka akan selalu menjaga sehingga  tak ada pihak yang merasa tersakiti. Mungkin teman-temanku merasa kita yang menghindar, padahal mereka yang meninggalkan.
Chika.. kamu tetap teman kami yang terbaik, mungkin kamu sedang khilaf sekarang. Tapi tenang,  aku dan Dhea tetap menunggu disisni. Sampai kita akan menjadi crigis-crigis yang seperti dulu lagi..
»»  READMORE...